Sejak Kapan Tradisi Pengucapan Syukur di Minahasa? Ini Kisahnya

0
2470

METROklik – Setiap tahun, masyarakat Minahasa melaksanakan perayaan Pengucapan Syukur.  Ini pun telah menjadi tradisi pada setiap orang Minahasa hingga saat ini.

Masyarakat di berbagai tempat di Minahasa, setiap tahun merayakan syukur atas berkat Tuhan yang dikaruniakan bagi umat-Nya. Bahkan, tradisi ini ikut dibawah orang-orang Minahasa ke daerah perantauan mereka. Namun, tahukah kita sejak kapan tradisi Pengucapan Syukur ini dimulai ?

Menurut penuturan para orang tua, tradisi ini berasal dari tradisi Rumages. Rumages merupakan bahasa tua tou (orang) Minahasa yang berasal dari kata rages, yang berarti persembahan yang diberikan dengan keutuhan atau ketulusan hati untuk Empung Wailan Wangko (Tuhan Yang Maha Besar). Menurut praktisi budaya yang juga merupakan seorang parapsikolog, Rinto Taroreh, tradisi ini telah dilakukan sejak ‘zaman leluhur’, sebagai wujud syukur atas berkat-Nya yang telah dikaruniakan bagi umat.

“Sejak dulu, usai melaksanakan panen, terutama panen padi, para leluhur biasa melaksanakan foso (ritual)rumages um banua atau ucapan syukur atas penan. Semua masyarakat merayakannya. Disamping  sebagai wujud syukur terhadap Opo Wananatas, juga merupakan upaya untuk semakin mendekatkan diri dengan-Nya, di dalamnya juga ada wujud penghormatan terhadap leluhur,” terang Taroreh.

Dijelaskannya, biasanya dalam pelaksanaan foso ‘rumages um banua’, ada beberapa bentuk persembahan yang diberikan. “Biasa ada yang untuk rerumetaan (persembahan khusus bagi Tuhan) dan ada yang ja se weteng (persembahan sebagai simbol penghormatan bagi leluhur).Biasanya, padi hasil panen perdana, dimasak di dalam bambu dan dikhususkan untuk Opo Wananatas. Sebagian lagi dimasak dan disediakan untuk persembahan sebagai wujud hormat bagi leluhur atau weteng,” kata Taroreh.

Taroreh juga menuturkan, untuk raragesan, persembahannya dalam bentuk binatang seperti ayam. “Itu harus ayam terbaik. Puncak ritual dibuat sebelum matahari terbit. Itu simbol bahwa kerja selanjutnya akan ada semangat baru. Pas pe buka pagi, mereka akan mengundang masyarakat lain dari luar wanua atau roong (desa) atau masyarakat yang kebetulan singgah di kampung mereka. Itu merupakan wujud kasih terhadap sesama,” ungkapnya.

Tradisi Tua Yang Bertrasformasi  Budayawan dan Sejarawan, DR IvanKaunang SS M Hum menjelaskan, tradisi Rumages itu kemudian mengalami trasformasi di kemudian hari, terutama ketika kekristenan masuk ke tanah Minahasa. “Pengucapan syukur itu bertrasformasi dari tradisi tua Minahasa, dan menjadi lebih kental ketika Kristen masuk. Dari perspektif kebudayaan, tradisiitu memang mengikuti perkembangan zaman. Beda generasi, beda juga wujud ekspresinya,” tegas dosen Pascasarjana UNSRAT ini.

Kaunang menilai, dalam prosesber trasformasi ini, ada sesuatu yang hilang dari perayaan pengucapan syukur itu. “Budaya leluri atau tutur itu terputus sehingga makna sesungguhnya dari pengucapan syukur banyak yang tidak dipahami oleh generasi kemudian.

Konsekwensi lain, mulai diadopsinya tradisi dari luar seperti, disko, miras produksi luar, dan sebagainya. Persoalan lain, karena terjadi interaksi, pemerintah mulai ambil alih perayaan ini. Dahulu itu dilaksanakan sesuai musim panen tapi sekarang, itu tinggal diatur pemerintah dengan gereja. (*)

Sumber : minahasatempodulu.blogspot

hutri < IMG-20240617-WA0052

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here